Banten

Aktivis Utara Soroti UU Tata Ruang 26 Tahun 2007

Administrator | Kamis, 14 Februari 2019

Lokasi pembangunan PT Mitra Propindo Lestari di Desa Laksana, Kecamatan Pakuhaji.

TELUKNAGA - Seperti di lansir dari warta kota 11/2/2019, telah terjadi Sidang yang digelar di ruang sidang 2 Pengadilan Negeri Tangerang menghadirkan empat saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa Direktur PT MPL (Mitra Propindo Lestari) TJS. 

"Bangunan yang didirikan ini tanah negara. Setelah hasil dari peninjauan lapangan oleh tim dari Pemkab Tangerang bahwa dokumen perizinan pembangunannya tidak ada," jelas Rizal selaku pegawai bagian hukum Setda Pemkab Tangerang.
 
Rizal, pelapor kasus ini memperkarakan bahwa terdakwa melanggar Pasal 69 Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
 Sebagai informasi, TJS diduga melanggar Pasal 69 dan Pasal 71 UU No 26/2007 tentang Tata Ruang dan diancam hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp 500 juta.

Kasus muncul ke permukaan setelah Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kabupaten Tangerang memperingati PT. MPL untuk menghentikan pembangunan jalan yang dijadikan akses menuju Kawasan industri dan Parsial 19.
 
Pasalnya, kawasan industri yang berada di sekitar Sungai Turi tersebut di klaim merupakan daerah resapan air dan kawasan hijau milik Pemkab Tangerang. 

Direktur Eksekutif Komunike Tangerang Utara Budi Usman menjelaskan, Pemkab Tangerang melalui Perda Tata ruang Nomor 13/2011 dan pemerintah Propinsi Banten sebenarnya telah terang benderang melalui Perda Nomor 5/2017 telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang mencangkup konsideran proteksi ketahanan pangan Kabupaten Tangerang.

Terkait  pelaporan dugaan pelanggar UU penataan ruang, pihaknya sangat apresiasi kinerja Pemkab Tangerang yang sangat bersemangat dan antusias untuk memproses dugaan kegiatan tersebut untuk penegakan hukum.

Namun Aktivis Budi menyayangkan, pelaporan tersebut seharusnya melalui jalur edukasi dan pembinaan perlindungan terhadap warga dan pelaku usaha, idealnya sanksi administrasi atau pembongkaran jika benar terjadi pelanggaran tersebut. 

"Namun, Pemkab begitu agresif melapor ke ranah pidana, beda sekali dengan standar pemberlakuan terhapus pelaku usaha atau koorporasi dan warga yang marak membangun kegiatan dan bangunan sepanjang daerah aliran sungai di kawasan Kecamatan Sepatan Timur, Teluknaga dan Pakuhaji di biarkan saja," tegasnya.

Menyoal adanya Laporan Pemkab terhadap pelaku usaha. Budi mengatakan tidak ada hal yang salah dalam rangkaian proses pengajuan pembangunan kontruksi betonisasi di sepadan sungai Turi, Desa Laksana, Kecamatan Pakuhaji. Budi mengklaim kenapa Pemkab Tangerang tidak mau menciptakan iklim sehat untuk investasi, justru pola pelaporan tersebut memberi implikasi negatif bagi warga, karena asas pemanfaatan jalan betonisasi tersebut positif untuk kepentingan pekerja dan pelaku usaha.

Kalau memang pelaku usaha bersalah, beri saja edukasi dan perlindungan untuk perbaikan ke depan, bukan dengan saling mencari kesalahan malah akan menganggu pelayanan publik terhadap kegiatan pekerja. Ini kebijakan tendensius Pemkab yang berlebihan, ada apa? ujar Budi.
 
"Belum adanya kegiatan sistimatis alih fungsi yang bertentangan dengan dugaan pelanggaran tata ruang dari kawasan hijau serta resapan air menjadi kuning dan abu abu, seperti istilah standar ganda ini menimbulkan apatisme ketidak percayaan publik terhadap konsistensi pemkab terhadap penegakan regulasi tata ruang,"tandas Budi.

Pada sidang pelanggaran tata ruang yang di gelar di Pengadilan Negeri Tangerang Senin, 11 Februari 2018, Tjen Jung Sen didakwa melanggar ketentuan Pasal 69 dan 71 UU No 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang oleh karena membantu memperbaiki jalan yang terletak di Kali Ciasin Sungai Turi, Desa Laksana, Kabupaten Tangerang.

Kuasa Hukum Tjen Jung Sen, Erlangga menerangkan bahwa dalam fakta persidangan perbaikan jalan di Tahun 2003 mengapa baru dipersoalkan di tahun 2018. Ini adalah perkara daluwarsa karena telah mengenyampingkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP dimana perkara yang diancam sanksi Pidana 3 Tahun akan daluarsa selama 6 tahun dan pada faktanya perkara ini baru dilaporkan setelah 15 Tahun. 

Pendapat ini sejalan dengan pertanyaan majelis hakim yang menanyakan kepada saudara Pelapor Abdullah Rijal yang merupakan biro Hukum Pemda Kabupaten Tangerang yakni perbuatan terdakwa telah 15 tahun berlalu dan diistilahkan seperti membesarkan seorang anak yang kira-kira saat ini berusia SMP (15 Tahun) dan mengapa fungsi pengawasan Dinas Bina Marga Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang tidak berjalan semestinya selama 15 Tahun ? Seharusnya berikan teguran pada saat jalan yang dimaksud diperbaiki, ujar majelis hakim dalam persidangan (11/2/2019).

Disisi lain saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum sebagian bukan merupakan saksi yang melihat langsung proses perbaikan jalan pada tahun 2003, melainkan saksi yang diberikan tugas oleh dinas terkait untuk ikut bersaksi di persidangan, seluruh pertanyaan majelis hakim terkait apakah saksi melihat dan menyaksikan langsung perbuatan yang terjadi pada tahun 2003 dan pernah datang ke lokasi ? 

Lantas saksi dari dinas tata ruang mengakui belum pernah datang dan melihat langsung ke lokasi. 

"Pada hakikatnya saksi tersebut dikategorikan sebagai saksi testimonium de auditu," ujar Budi Usman yang juga penggiat lingkungan hidup.

Lantas apakah Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang dalam keterangannya tidak mengetahui isi jawaban atas teguran yang dikirimkan Terdakwa, sebagai itikad baik terdakwa menjawab surat teguran dari Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang yang dikirimkan pada dan 09 Februari 2018. 

Dalam hal ini Dinas Bina Marga dan SDA Kabupaten Tangerang secara jelas melakukan upaya represif dengan segera menempuh jalur hukum pada setiap warga yang belum memenuhi proses perizinan. 

"Hal ini menyimpangi ketentuan yang tertuang dalam UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang mana asas kemanfaatan, akuntabilitas dan profesionalitas yang harus dijunjung tinggi serta penghormatan terhadap hak-hak sipil warga negara," ujar Budi.

Sejalan dengan itu ketentuan Pasal 63 UU No. 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa setiap sengketa penataan ruang yang timbul diselesaikan secara Musyawarah, sehingga kuasa hukum menyayangkan bila semua kekurangan izin tidak lagi dibina melainkan diselesaikan melalui pemidanaan. lantas apakah warga negara selalu menjadi pihak yang lemah???

Sosialisasi pada masyarakat dan pelaku ungkap Budi, menjadi agenda penting dan hukumnya wajib, agar masyarakat tidak mengubah lahan pertaniannya menjadi lahan terbangun dan masyarakat tidak merasa tercurangi karena tidak tahu peraturan tersebut. 

"Untuk kasus ini mustahil masyarakat dengan mudah menaatinya, maka perlu penerapan mekanisme disinsentif dan sanksi administratif sebagai bentuk instrumen pengendalian perubahan pemanfaatan lahan pertanian. Regulasi dari Negara sebenarnya sudah adil, ternyata masalah pengendalian alih fungsi lahan, sudah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan," lanjutnya. 

Sementara masalah perizinan, Pemkab Tangerang hanya serimonial mewajibkan si pemohon untuk membuat pernyataan penggantian lahan tersebut. Sampai saat ini belum terlihat secara faktual dan objektif tentang transparansi pengembang dan perusahaan di Kabupaten Tangerang yang sudah mengganti lahan yang dialih fungsikan.

"Kita sepakat transformasi pembangunan harus tetap dilakukan terus untuk mendokrak percepatan pertumbuhan ekonomi namun juga perlu juga perlindungan terhadap rakyat dan pelaku usaha dalam rangka kampanye demi kedaulatan dan ketahanan pangan serta perlindungan lahan pertanian berkelanjutan yang lebih ekologis dan kapabel serta kita berdoa dan berharap segera terbitnya Peraturan sehat buat warga kita kedepan generasi sekarang dan penerus yang selanjutnya yang identik dengan generasi gemilang dan berkeadilan bukan hanya lip service saja," pungkasnya. (rls/PUT)