Figur

Potret Buram Pendidikan di Tangerang

Administrator | Senin, 02 September 2019

Oleh : M. Hasanudin

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan seorang mahasiswa. Gundah dan khawatir terhadap sistem pendidikan di Tangerang.  Terlebih kabupaten. Sebuah analisa dari pemuda asal pojok utara Tangerang.
 
Menyoal proses yang lama terjadi. Baik pelajar, guru, birokrat, maupun kepala daerah. Membaca ulang tentang apa saja yang sudah, sedang, dan akan berjalan. Terutama berkaitan dengan dunia pendidikan.

Alasan utama, mengapa titik fokus tulisan pada Kabupaten. Jawaban mendasarnya karena, pertama, saya produk asli lulusan wilayah dengan penduduk lebih dari 3 juta jiwa. Setidaknya kurang lebih 9 tahun sudah tahapan itu dilewati. 

Fase di mana saya menimba ilmu. Kedua, merasa cukup lama dibodohi. Dulu, berfikir bahwa selama ini dunia  pendidikan yang selalu dimuliakan, sakral, bahkan penuh kebajikan, ternyata mengandung berbagai penindasan.

Mungkin bagi para pelajar, mendengar kata "penindasan" akan terkejut. Terasa ada yang aneh. Dan tidak patut diutarakan. Tetapi tidak dengan elite politik pemangku kebijakan. 

Berawal dari kabar burung. Melalui jejaring sosial. Setiap hari, selalu dihantui oleh makhluk bernama medsos. Seiring itu juga, kabar buram pendidikan yang terus masuk, baik dari dunia maya, surat kabar, maupun televisi, kerap membuat hati pilu. Ada sesuatu yang tidak beres dalam pola pendidikan dewasa ini.

Masih banyak keluarga yang tidak bisa menyekolahkan anaknya. Karena biaya pendidikan terlalu tinggi. Tidak sedikit peserta didik putus sekolah. Ini ironis. Daerah yang pendapatannya super besar. Industri di setiap penjuru. Persoalan pendidikan belum juga tuntas.

Konon katanya gratis. Ditanbah banyak bantuan dari pemerintah. Penunjanganya serba murah. Tapi jika diamati, bantuan tersebut tidak menetes sampai bawah.  Tersumbat di pertengahan. mungkin hanya birorat dan elit yang merasakan. Faktanya, masyarakat hanya jadi jargon. Seolah pendidikan untuk semua. Padahal penuh rekayasa.

Lalu apa hubungannya dengan sistem pendidikan? Berangkat dari Perda nomor 9 tahun 2011, bahwa ; sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Begitu kira-kira definisi menurut aturan yang berlaku.
 
Narasi "pemerataan" tentu enak didengar. Sejuk di telinga. Bahkan seperti oase dalam dahaga. Kenyataanya? Tidak berbanding lurus. Semua sebatas mimpi, yang entah kapan menjadi kenyataan.

Bukan lagi rata atau  setengah. Cukup sederhana bukan, tapi sangat serius kita menyikapi dan mempertanyakan kepada pemangku kebijakan. Apakah sudah merata atau hanya sebatas retorika? Ini perlu dijawab. Demi masa depan pendidikan yang lebih baik.

Kabar kedua. Mendesaknya kebutuhan pendidikan di wilayah dengan jumlah 29 kecamatan yang tersebar di 274 desa/kelurahan. baru-baru ini, tepatnya di Tangerang bagian barat. Sekolah SDN 3 Kronjo, heboh dengan berita miring; kekurangan guru ditambah minimnya fasilitas. Berupa meja dan kursi.

Suatu problem yang sangat ironis bagi dunia pendidikan. Kebutuhan SDM dan APS (Alat Perlengkapan Sekolah) tidak mampu untuk diselesaikan. Pertanyaan kritisnya: Lalu tugas pemangku kebijakan apa saja? Selama ini dana puluhan bahkan ratusan milyar ke mana?

Meminjam istilah wong Deso. Ngapain ajah gawenya kang? Hal yang sangat riskan dan penting untuk sesegera mungkin diselesaikan, malah abay. Pemangku kebijakan tidak peka. Baru dicarikan solusinya setelah ramai diperbincangkan. 

Belom lagi kita bicara pendidikan humanis. Di mana dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah 'memanusiakan' kembali manusia yang mengalami 'dehumanisasi' karena sistem dan struktur yang tidak adil. 

Cukup terlalu jauh sudah sistem pendidikan ini untuk terbang ke arah sana. Andai perihal proses itu sedang dicanangkan oleh pemangku, saya rasa hanya "PENDIDIKAN UTOPIS". Sebatas pada khayalan para pemangku kebijakan an sich. Kalo memang hal seperti sistem pendidikan dan kebutuhan tidak bisa diselesaikan dan dirasakan oleh masyarakat.

Penulis adalah :
Ketua demisioner PK PMII STISNU Tangerang