Figur

Menuju Tangerang Utara Gemilang Menggerus Garis Kemiskinan

Administrator | Rabu, 24 Maret 2021

Oleh : Budi Usman 

Jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang yang hidup dalam garis kemiskinan masih tinggi. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Tangerang meyebutkan, pada 2018 dari total penduduk yang mencapai 3.477.495 jiwa, sebanyak 923.405 orang di antarnya berada di bawah garis kemiskinan.

Tolok ukur kemiskinan salah satunya didasarkan pada pengeluaran pembelanjaan setiap bulannya.
Yakni, setiap tahunnya, tolok ukur angka pengeluaran berubah sesuai dengan kondisi pendapatan ekonomi penduduk secara umum.

Penyumbang angka kemisinan yang paling banyak di Kecamatan Kronjo, Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Rajeg, dan Kecamatan Teluknaga.
Angka kemiskinan mencapai 923.405 jiwa, dari 3.477.495 total jumlah penduduk Kabupaten Tangerang. (Cnnbanten.id 19/5/19).

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial Republik Indonesia menyebutkan jumlah keluarga miskin di Kabupaten Tangerang masih didominasi di wilayah bagain Utara. Kategori penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebulan di bawah garis kemiskinan.

Sebaran jumlah keluarga miskin di Kabupaten Tangerang terbanyak yakni di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Total jumlahnya tercatat mencapai 17.983 keluarga.

Selain Kecamatan Pakhaji, jumlah keluarga miskin terbanyak di Kabupaten Tangerang terdapat di Kecamatan Teluknaga dengan jumlah 15.762 keluarga, kemudian di susul oleh Kecamatan Rajeg sebanyak 15.451 keluarga setelah itu Kecamatan Mauk dengan jumlah 13.109 keluarga. Kabar6.com 11/5/2020)

Konsistensi dan geliat para pelaku bisnis mulai mengincar daerah di pinggiran Jakarta, seperti Kabupaten Tangerang. Terutama pesisir Tangerang utara. Salah satu daya tarik Kabupaten Tangerang adalah dekat dengan Jakarta dan Bandara Soekarno Hatta (Soetta) juga memiliki daerah kawasan industri yang tertata.

Potensi kelautan di wilayah Bagian Utara belum tergali maksimal. Dengan panjang pantai yang lebih dari 51 kilometer, bisa dibayangkan besarnya potensi kawasan pergudangan, properti, niaga, pariwisata dan industri kelautan di Kabupaten Tangerang.

Idealnya, secara legal formal pemerintah pusat cq Kementeian ATR BPN, kementrian Kelautan perikanan ,Pemprov Banten dan Pemkab Tangerang serta jajaran legislator perlu ekstra kawal usulan revisi serta perubahan Tata ruang Kabupaten Tangerang yang banyak terindikasi menggerus area konservasi hijau, semacam lahan pertanian dan kawasan perikanan dan pesisir yang merupakan pusat resapan air dan konsevasi untuk preventif pengawasan potensi pelanggaran Tata ruang, karena ternyata secara faktual belum terbitnya konsideran dari Perda Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah atau RTRW Kabupaten Tangerang dan belum terbitnya turunan UU Nomor 1/2014 tentang ratifikasi Zonasi Pesisir, yaitu Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Banten RZWP3K ini menjadi sangat penting untuk keselarasan dan kajian konsideran mengenai pola ruang dan pemanfaatannya yang pro publik, humanis dan ekologis.

Apalagi adanya implikasi dari banyak lahan persawahan lahan produktif yang terpakai untuk perlintasan rencana pembangunan. Jadi, harus ada kajian akademis dan yuridis termasuk belum terbit pengesahan Perda RTRW Kabupaten Tangerang yang saat ini masih di evaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri, juga terkait belum terbitnya lembaran daerah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP3K) Banten.

Belum lagi bicara implementasi UU 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan serta kompensasi yang tidak jelas perihal lahan pertanian pengganti karena luasan yang berkurang.

Mantan Kepala Bappeda Banten. Di era Hudaya Latuconsina tahun 2017 dalam statemennya, mengatakan bahwa RTRW Kabupaten Tangerang sebelum menjadi lembaran daerah pengesahannya akan dievaluasi oleh Gubernur dan Kemendagri.

Ada sekitar 11,8 persen penyesuaian yang akan dilakukan oleh pihaknya untuk menyelaraskan RTRW Banten dengan kebijakan pemerintah pusat. Saat ini 11 persen sudah disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat, 0,8 persen lainya sedang disesuaikan.

Menyoal apakah revisi ini juga mempengaruhi besaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bappeda Banten dalam rilis 11/11/2017 menyatakan Pemprov Banten akan mempertahankan sekuat tenaga keberadaan LP2B di Provinsi Banten. 

Dalam perda Nomor 5/2017 mengenai RTRW Banten untuk jumlah RTH belum terlihat transparan berapa persentasenya. Kalau untuk besaran jumlah lahan pertanian di Banten sekitar 162.000 hektar. Kita harapkan dijaga, jangan sampai LP2B Kabupaten Tangerang seluas 29.295 ha diganggu, apalagi sudah ada Perda Perlindungan Pertanian Banten Nomor 5/2014.

Maraknya alih fungsi wilayah resapan air di area lahan konservasi air dan pertanian yang tidak terkendali di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten diduga akan mengancam dampak ekologis seperti intrusi air laut dan Banjir serta kelestarian swasembada pangan dan merosotnya produktivitas pertanian.

Tidak ada perubahan, LP2B untuk lahan pertanian di Banten. masih mengacu kepada Perda Perlindungan Lahan LP2B Provinsi Banten Nomor 5 Tahun 2014 dimana sudah jelas di Pasal 11 ayat 1, luas lahan LP2B yang ditetapkan 169.515,47 ha.

Seharusnya juga Gubernur melalui Dinas Pertanian Banten juga menjelaskan, alih fungsi lahan di Banten harus dicegah, kerena sudah diatur oleh pemerintah sesuai dengan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.

Kita sepakat support terhadap investasi kegiatan dari pengembang yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta mengkatrol percepatan pendapatan asli daerah, sangat amat kita dukung sebagai kebutuhan percepatan segala sektor untuk kehidupan yang lebih baik. 

Namun kita juga sepakat harus punya karakter patriotisme dan cinta tanah air dan konsen terhadap penegakan pengelolaan Lingkungan hidup, saatnya segenap kekuatan pemerintah, masyarakat, penggiat serta legislatif mempunyai komitmen yang sama terhadap penegakan konsistensi hak publik, yang fokus mengedepankan dampak minimun, serta implikasi negatif dari pembangunan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan hidup.

Penelitian Anna Karenina dari Institut Pertanian Bogor pada 2016 merekam laju ekstrem perubahan lahan di Tangerang. Penelitian itu, yang merujuk pada naskah RTRW Kabupaten 2011-2031, mencatat luas lahan sawah di Kabupaten Tangerang yang ada saat ini mencapai 37.255 hektare, namun yang ‘dipertahankan’ dalam RTRW hanya seluas 29.295 hektare.

Dengan kata lain, terdapat sekitar 7.960 hektare lahan sawah yang didukung perubahan fungsinya oleh RTRW. Padahal, Kabupaten Tangerang termasuk lumbung pangan nasional, dengan pertanian tercatat sebagai penyumbang terbesar kedua pada pendapatan asli daerah, setelah industri pengolahan.

Gambaran itu sekaligus menghadirkan paradoks baru. Padahal, sudah ada aturan yang mencegah terjadinya pengalihan lahan demi mepertahankan kemandirian wilayah serta lingkungan. Aturan itu termasuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Bahkan, untuk memperkuat aturan itu, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga telah mengesahkan sebuah beleid yang mencakup perlindungan bagi petani, termasuk pemberian asuransi atas kegagalan panen.

Saatnya moratorium alih fungsi lahan hijau khususnya Tangerang Utara segera dilaksanakan demi alat kendali untuk implementasi terwujudnya program kabupaten Tangerang gemilang. dan kita berdoa kesejahteraan meningkat dan garis kemiskinan segera tergerus.
 
Wallahu Alam Bissawab.

Penulis adalah Penggiat Sosial dan Tata Ruang