Figur

Ketika Calon Dewan Mendukung Calon Presiden Lain

Administrator | Minggu, 04 Februari 2024

Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq

Dalam kontestasi Pemilu 2024, untuk pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh 3 pasangan calon, yaitu Anies Baswedan-Muhaimain Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Ketiga pasangan calon masing -masing didukung oleh gabungan partai politik. Salah satunya adalah pasangan Anies-Imin yang diusung oleh gabungan beberapa partai politik, yaitu Partai Nasdem, PKS, dan PKB.

Pada Pemilu 2024 nanti, selain akan memilih calon Presiden dan Wakil Presiden, para pemilih juga akan memilih calon wakil rakyat di berbagai jenjang, baik tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten serta kota.

Pastinya-bahkan mestinya-setiap pendukung, anggota partai politik, apalagi calon anggota dewan yang berasal dari satu partai yang mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu, patuh dan taat untuk mengikuti keputusan partai politiknya.

Seperti misalnya PKB yang telah mengusung dan mendukung calon pasangan Anies-Imin, maka seluruh pendukung, anggota partai, pengurus partai, hingga calon anggota dewan dari PKB mesti mendukung pasangan calon yang diusung partai politiknya itu.

Bila ada calon anggota dewan dari PKB-juga partai politik lainnya-malah mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lain di luar yang diusung oleh partainya, pastinya ada mekanisme tertentu dari partai politik asal mereka untuk mengambil tindakan.

Secara hukum, sejatinya tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini KPU. KPU tidak punya kewenangan untuk mengatur dan intervensi atas sikap politik seorang calon dewan yang berbeda dengan sikap politik partainya.

Masing-masing partai politik bisa menerapkan aturan dan kebijakannya. Walau demikian, andai sikap partai politik demikian tegas mengambil sikap, misalnya dengan cara mencoret dan membatalkan pencalonan mereka, itu tidak dibenarkan.

Pencoretan dan atau pembatalan pencalonan anggota dewan oleh partai politik pasca ditetapkan sebagai Daftar Calon tetap atau DCT oleh KPU, itu tidak dibenarkan karena antara lain akan banyak berdampak terhadap perkara teknis.

Misalnya bentuk surat suara, yang telah dicetak jauh sebelum munculnya sikap politik yang berbeda tersebut. Nama dan foto calon dewan yang menunjukkan sikap politik berbeda itu sudah tercetak dalam surat suara.

Dampak lainnya adalah bila kebetulan yang bersangkutan adalah seorang perempuan, maka prinsip “keterwakilan 30% perempuan” menjadi tidak terpenuhi. Walapun prinsip ini berlaku pada saat pendaftaran bakal calon anggota dewan.

Setelah sikap dan dukungan politik seperti yang ditunjukkan oleh politisi PKB yang berbeda dengan sikap politik partainya dalam mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, belakangan muncul sikap serupa diperlihatkan oleh calon anggota DPRD Provinsi Banten dari PPP.

Mereka yang berasal dari PPP dan partai politiknya mengusung pasangan Ganjar-Mahfud, mendeklarasikan untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Walaupun belakangan pernyataan sikap yang mereka lakukan itu diakui sebagai sebuah jebakan.

Sejatinya, fenomena sikap politik yang berbeda dengan garis kebijakan partai politik yang ditunjukkan oleh seorang calon anggota dewan, dengan lebih mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lain, ada banyak terjadi.

Umumnya, mereka tidak menunjukkan sikap politiknya itu secara vulgar, dengan mempertontonkannya ke publik. Apalagi dengan cara seremoni deklarasi, diatas mimbar, diabadikan, kemudian disebarkan. Lalu disertai dengan statement untuk mendukungnya.

Seperti halnya beberapa anggota, kader, dan calon anggota dewan dari Partai Demokrat yang notabene partainya mengusung pasangan Prabowo-Gibran, hanya karena Anies merupakan kader dari organisasi kemahasiswaan tertentu yang sama satu organisasi dengannya, menunjukkan sikap politik yang sama seperti yang dilakukan oleh politisi PKB dan PPP diatas.

Atau seperti politisi PAN yang mencalonkan diri untuk DPR RI dari daerah pemilihan Banten yang  partai politiknya mengusung pasangan Prabowo-Gibran, nyaris tidak terdengar suaranya untuk mengkampanyekan pasangan ini karena menuai resistensi besar dari organisasi keagamaan tempat dirinya berkiprah, yang mayoritas mendukung Anies.

Mengapa dimungkinkan seorang calon dewan dari partai politik tertentu mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lain yang disusung oleh partai lain, adalah karena bisa jadi menurut pertimbangan pribadinya yang bersangkutan lebih pas dan cocok untuk memberikan dukungan pada calon lain itu.

Atau bisa jadi karena akan menuai resistensi tadi. Ketika lingkungan sekitar mayoritas mendukung calon Presiden lain yang tidak didukung oleh partai politiknya, maka bila tidak mengikuti arus utama ini akan berdampak terhadap perolehan suaranya. Mengkampanyekan calon yang tidak didukung secara mayoritas oleh orang di sekelilingnya adalah langkah tidak populis.

Karenanya, banyak politisi yang berada dalam situasi ini untuk lebih memilih diam. Tidak mengkampanyekan calon Presiden yang diusung partai politiknya. Bahkan memilih untuk tidak bersuara manakala calon Presiden yang diusung partai politiknya diserang dengan narasi yang tidak benar.

Akan menjadi bumerang ketika dia melakukan pembelaan. Sebab itu akan menciptakan “kekitaan” menjadi  “kami” dan “kalian”. Cara pandang berbeda dengan mayoritas di sekitarnya akan membuat jarak antara dirinya dengan mereka. Dan ini bisa merugikan dirinya.

Fenomena ini-sikap politik yang berbeda dengan partainya-walaupun tidak bertentangan dengan aturan apalagi hukum, namun secara etika akan menjadi persoalan. Ini akan menjadi batu ganjalan dan merusak soliditas bagi partai politik tempat bernaung dirinya.

Seorang kader apalagi calon anggota dewan yang dukungan politiknya berbeda dengan kebijakan partai politiknya bisa menjadi hambatan bagi tercapainya visi, misi dan program partai politik tersebut.

Sanksi etika yang bisa diterapkan padanya tergantung pada mekanisme yang diterapkan dalam partai politik tersebut. Andai ulah itu dikategorikan sebagai pelanggaran berat, bisa saja setelah hari pemungutan suara dia dikeluarkan dari keanggotaan partai.

Atau bisa saja lebih berat dari itu. Ketika yang bersangkutan ternyata meraih suara terbanyak dan terpilih menjadi anggota dewan, pengurus partainya bisa mengambil langkah tegas. Bukan hanya memberhentikannya dari keanggotaan partai. Tapi bisa lebih dari itu, menggunakan mekanisme Pergantian Antar Waktu atau PAW. ***

Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, yang juga Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)